Seperti dipublikasikan oleh ’The Australian’, seorang pakar bidang ilmu hubungan international dari Institut Asia di Universitas Griffith yang bernama Michael Wesley mengingatkan pemerintah Australia agar segera merealisasikan program pembelajaran bahasa Asia secara massal, dengan dukungan anggaran senilai 11,3 miliar dolar AS.
Pernyataan Michael itu disampaikannya dalam acara peluncuran hasil penelitian tentang penurunan secara tajam program pendidikan bahasa di tingkat universitas.
Menurut dia, Australia tidak bisa lagi hanya mengandalkan para elite yang lancar berbahasa Asia untuk memperjuangkan proyek-proyek yang merupakan kepentingan Australia di kawasan Asia.
“Bila kita hanya bergantung kepada para elite, itu artinya masyarakat Australia secara keseluruhan akan terkunci di industri abad ke-20 saja, sementara negara-negara lain akan bergerak terus dan ambil bagian dalam ekonomi pengetahuan ala abad ke-21,” kata dia yang juga mengingatkan bahwa saat ini ekonomi Australia kian global dan menjadi lebih padat pengetahuan.
Laporan Michael yang bertajuk “Membangun Australia yang Melek-Asia” menyebutkan bahwa ada tiga bahasa Asia yang harus dikejar oleh Australia. Bahasa Mandarin dan bahasa Jepang, karena dua negara ini adalah mitra dagang terbesar Australia. Dan bahasa Indonesia, sebab Indonesia adalah tetangga terdekat Australia.
Lebih lanjut ia mengatakan sekarang adalah masa yang kritis bagi kesejahteraan Australia dengan cara mulai menciptakan sedikitnya separuh bangsa Australia bisa berbahasa Asia dalam waktu 30 tahun ke depan.
“Masa depan kita adalah ekonomi berbasis pengetahuan yang berpusat di Asia, oleh karenanya penting buat kita untuk bergabung dengan ekonomi berbasis pengetahuan ini dengan infrastuktur manusia yang tepat, dan penting bila bisa berbicara dengan bahasa selain bahasa Inggris,” ujar dia.
Laporan Michael mengusulkan strategi untuk Australia menguasai bahasa-bahasa Asia di tingkat universitas dan sekolah.
Strategi ini akan membuat institusi-institusi pendidikan di Australia berlomba mendapat dana dari institut nasional untuk bahasa Asia. Dan jumlah siswa yang belajar bahasa Mandarin, Jepang, atau Indonesia di pendidikan tingkat persiapan, sekolah dasar, dan sekolah menengah akan meningkat 100 persen dalam kurun 5 tahun ke depan.
Bila institusi pendidikan ini memenangkan dana tersebut, maka mereka harus memastikan bahwa semua siswa di atas kelas 1 SMA mendapat setidaknya 150 menit per pekan pelajaran bahasa Asia.
Setelah 15 tahun, bahasa-bahasa Asia yang diprioritaskan bakal bisa diperluas mencakupi bahasa Vietnam, Thailand, Persia, Bengali, Kamboja, Laos dan Burma.
Michael mengutip prediksi dari Bank Dunia yang menyebutkan bahwa kawasan Asia-Pasifik adalah pemimpin dalam perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Ia lalu mengaitkan kontras keadaan yang terjadi di Australia sekarang, di mana 75 persen penduduknya hanya bisa berbahasa Inggris.
Menurut dia, saat ini pusat-pusat ekonomi berbasis pengetahuan bukan berada di negara-negara yang berbahasa Inggris, melainkan di negara yang berkembang sangat pesat di kawasan Asia seperti China, Korea, Taiwan dan India.
“Kebanyakan konsumen produk-produk pengetahuan akan membeli produk-produk berbahasa non-Inggris, dan akan mengembangkan produk-produk yang menggunakan bahasa lokal, itulah sebabnya hanya negara yang bisa menguasai kapasitas kelokalan yang akan mendapat untung,” kata Michael.
Ketika ditanya mengapa bangsa Australia harus mempelajari bahasa Asia, ketika bahasa Inggris telah menjadi bahasa pengantar di dunia bisnis global, Michael justru menjadikan momentum ini sebagai argumen “kunci”.
Ia menjelaskan, “Mempelajari bahasa asing adalah jalan tercepat untuk menunjukkan bahwa cara berpikir kita tentang dunia tidaklah universal, mempelajari bahasa asing akan membentuk kebudayaan kita.”
Laporan dari Institut Asia Griffith ini menyerukan agar semua instansi pendidikan dijadikan target pembelajaran bahasa kedua, konsep ini lebih luas daripada program Pemerintahan PM Kevin Rudd yang hanya akan mengutamakan siswa di SMA.
Usul Michael Wesley ini mirip dengan beberapa langkah yang dicanangkan Pemerintah Australia tentang penggalakan bahasa Asia. Tapi di sisi lain pandangan Michael bertolak belakang dengan strategi bahasa yang diyakini oleh kalangan seperti Joe Lo Bianco dari Universitas Melbourne.
Lo Bianco berpendapat bahwa semestinya pelajaran bahasa di sekolah mengacu kepada asas keberimbangan, baik itu pragmatis (perdagangan dan keamanan) maupun humanistik (keingintahuan, budaya, pengembangan intelektual).
“Australia harus belajar soal membedakan antara apa yang cocok diterapkan di sekolah-sekolah dan diterima oleh para siswa di satu pihak (kebijakan massal) dengan apa yang dibutuhkan oleh spesialis di lain pihak (kebijakan spesialisasi),” kata dia.
Ia menambahkan, “Mayoritas pelajar tidak akan terlibat dalam negosiasi dagang atau pembuatan kebijakan keamanan nasional.”
“Pengajaran bahasa di sekolah seharusnya menjadi ajang awal bagaimana belajar bahasa secara sukses, kelas-kelas bahasa di universitas harusnya bisa menjadi pemacu intelektualitas dan disiplin, lalu spesialisasi bahasa di departemen-departemen pemerintah atau lembaga-lembaga lain semestinya mengajarkan spesialisasi bahasa setingkat lebih tinggi daripada universitas,” katanya.
Dan Michael Wesley kembali menegaskan bahwa Australia tidak bisa lagi bergantung kepada segelintir elite untuk bernegosiasi dengan dunia. Kemampuan berbahasa Asia harus diperluas demi kepastian lapangan pekerjaan pada masa yang akan datang.
sumber : www.kompas.com