[Bhutan terletak di bawah pegunungan Himalaya, tanahnya tidak subur, pertambangannyapun tidak kaya, pendapatan warganya tidak tinggi, tetapi toh termasuk salah satu negara terbahagia di dunia. (PHOTOS.COM)]
Bhutan terletak di bawah pegunungan Himalaya, tanahnya tidak subur, pertambangannyapun tidak kaya, pendapatan warganya tidak tinggi, tetapi toh termasuk salah satu negara terbahagia di dunia. (PHOTOS.COM)
Bhutan terletak di bawah pegunungan Himalaya, tanahnya tidak subur, hasil tambangnya tidak banyak dan pendapatan warganya tidak tinggi, akan tetapi ia termasuk salah satu negara terbahagia di dunia.
Nama negara Bhutan dalam bahasa lokal ialah: Druk Yul, yang bermakna Tanah Naga Guruh, lagu kebangsaannya ialah Drukyle (Kerajaan Naga Guruh). Arti Bhutan dalam bahasa Sansekerta ialah “Dataran tinggi di sebelah Tibet”, agama Budha aliran Tibet (Tantrayana) mempengaruhi kepercayaan dan gaya hidup rakyat setempat.
Dalam hal ini bisa dicermati dari bendera kebangsaan Bhutan, yakni bendera nasional Bhutan terbagi oleh garis diagonal yang membentuk 2 segitiga dengan warna kuning emas dan merah jeruk serta pada garis diagonalnya terdapat seekor naga terbang putih.
[Bendera nasional Bhutan (WIKIPEDIA) dan Kupu-kupu Bhutan]
Bendera nasional Bhutan (WIKIPEDIA) dan Kupu-kupu Bhutan
Warna kuning emas melambangkan kekuasaan raja; warna merah jeruk adalah warna jubah Lama (biksu) Tibet yang melambangkan kekuatan spiritual agama Budha; naga putih nan bersih melambangkan negara Bhutan ini, sedangkan mutiara putih digenggamannya melambangkan kewibawaan dan kesucian.
Selama ratusan tahun Bhutan tidak memiliki sistem sensus kependudukan yang lengkap, maka itu statistik kependudukan Bhutan tidak akurat, diperkirakan berpenduduk sekitar 700.000 hingga 1.500.000 orang; terutama didominasi suku Tibet dan suku Nepal.
Suku Tibet terutama menetap dan tersebar di bagian barat, kurang lebih 65% dari populasi keseluruhan. Suku Nepal tersebar di bagian selatan, sekitar 35%. Selain itu masih ada suku India.
Bhutan adalah negara agama yang seluruh warganya beriman, ada sebanyak 75% warga menganut agama Budha Tantrayana aliran Tibet, sebanyak 25% menganut agama Hindu.
Pengalaman kebahagiaan Bhutan
Bhutan disebut sebagai “Shangrilla di kaki gunung Himalaya” yang 97% rakyatnya menganggap diri mereka sangat berbahagia.
Bukannya kebahagiaan yang berasal dari pemuasan nafsu dunia fana, melainkan berasal dari iman dan konsep tahu-cukup.
Orang Bhutan beranggapan kemiskinan yang sesungguhnya adalah apabila tak mampu beramal kepada orang lain, mereka sudah sangat puas asalkan memiliki sawah dan rumah.
Dikarenakan mereka adalah umat Budha, maka mereka tidak membunuh makhluk berjiwa, itulah sebabnya mereka mengimpor daging dari India. Namun demikian di atas meja makan jarang terlihat makanan jenis daging, melainkan makan sayur-sayuran atau produk dari susu sudah membuat mereka puas.
Pengalaman kebahagiaan Bhutan berasal dari Jigme Singye Wangchuck IV, sang mantan raja yang tidak mendahulukan perkembangan ekonomi melainkan mendirikan sebuah negara yang berbahagia sebagai amanah jabatannya, dengan kesetaraan, kepedulian dan konsep ekologi menyulap Bhutan menjadi negara besar dalam hal kebahagiaan.
Pada 2005, Bhutan menjadi fokus berbagai media besar seantero dunia, “Model Bhutan” ciptaannya, teori Gross National Happiness (GNH) yang ia usulkan memperoleh perhatian seksama masyarakat internasional dan menjadi tema pelajaran ilmu ekonomi yang digandrungi para pakar dan institut penelitian sebagian negara seperti AS, Jepang dan lain-lain. Konsep “baru” dalam pandangan negara maju pada abad-21 ini, di Bhutan diam-diam telah dijalankan selama hampir 30 tahun lamanya.
Yang disebut “Model Bhutan” ialah mementingkan perkembangan yang seimbang antara materi dan spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap kebudayaan tradisional diletakkan di atas perkembangan ekonomi, standar untuk pengukuran perkembangan ialah Gross National Happiness (GNH).
Raja Wangchuk sangat memperhatikan pelestarian lingkungan hidup Bhutan, ia memberlakukan larangan merokok di seluruh negeri, melarang impor kantong plastik. Selain itu pemerintah menentukan, setiap orang setiap tahun minimal harus menanam 10 batang pohon.
Angka cakupan hutan belantara di Bhutan sebesar 72% berada pada urutan nomor 1 di Asia. Sebanyak 26% tanah di seluruah negeri dijadikan taman nasional.
Pada 2005 Bhutan memperoleh hadiah “Pengawal Bumi” dari Pelestarian Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Programme, UNEP).
Demi melindungi lingkungan hidup dan kebudayaan mereka, Bhutan rela “mengurangi profit” dan mempunyai pertambangan tapi tidak dibuka.
Orang Bhutan beranggapan, “Kehidupan yang benar-benar bernilai, bukannya hidup di tempat dimana dapat menikmati materi tingkat tinggi, melainkan memiliki taraf spiritual dan kebudayaan yang kaya.”
Di sebelah selatan ibu kota yakni kota kabupaten Chukha terdapat sebuah saluran bawah tanah sedalam 100 meter yang menuju ke PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Bhutan.
Demi melindungi hutan dan kontur tanah, proyek yang semestinya bisa diselesaikan dalam tempo 4 tahun, mereka malah memilih waktu 12 tahun untuk menembus gunung sejauh puluhan kilometer. Air salju dari gunung yang tinggi dialirkan ke bawah tanah. Sedangkan pada dinding pembangkit listrik itu dipajang 12 lukisan raksasa tentang kisah sang Budha.
Oleh karena tidak menghendaki turis yang meluber dapat merusak tradisi kebudayaan dan ekologi, maka barang siapa yang memasuki Bhutan diharuskan membayar biaya visa sebesar US$ 200 (sekitar Rp 2 juta), membatasi dengan tarif tinggi agar Bhutan tak mengalami pencemaran yang berlebihan yang dibawa dari dunia luar.
Pada akhir 2004, pemerintah Bhutan mengumumkan perintah pelarangan merokok di seluruh negeri. Ini adalah pelarangan merokok total kali pertama di dunia, para warganya dilarang menghisap rokok di tempat umum maupun lokasi terbuka manapun.
Bhutan menerapkan aturan umum bahwasanya laki-perempuan harus mengenakan model busana nasional, kaum prianya berupa sepotong rok terusan yang setinggi lutut, disebut sebagai Gol, kaum perempuan dengan model 3 potong, panjangnya mencapai tungkai dan disebut Kira.
Penghasilan Bhutan terutama berasal dari hasil pertanian. Dewasa ini, setiap warga Bhutan diperbolehkan mengajukan permohonan tanah pertanian di desa kepada pihak pemerintah. Mereka membajaknya dengan cara tradisional dan tidak menggunakan pupuk kimia. (De Youshan/The Epoch Times/whs)