Saya pribadi tidak setuju dengan sunat pada perempuan, dikarenakan secara ilmiah tidak ada sedikitpun keuntungan yang didapat, yang kedua hal ini tidak diwajibkan dalam islam dan hanya adat dan tradisi semata, ketiga penelitian menyebutkan bahwa kebanyakan pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia banyak yang salah dan hal itu malah dapat menyebabkan cacat bagi di Perempuan.
Sunat perempuan, dikenal juga dengan istilah sirkumsisi atau khitan perempuan. Sedangkan istilah secara internasional sunat perempuan adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC). Penggunaan istilah sendiri masih seringkali diperdebatkan.
Disebutkan bahwa sunat perempuan dilakukan di 28 negara, terbanyak dilakukan di sebagian besar Negara Afrika, khususnya di Negara bagian Afrika Sahara, beberapa Negara Timur Tengah, serta sebagian kecil Negara di Asia, Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Eropa. Setidaknya, seratus juta wanita di dunia telah mengalami tindakan ini, yang terjadi pada sekitar tiga juta anak usia di bawah sepuluh tahun pertahun.
Bagi sebagian masyarakat, sunat perempuan merupakan tradisi yang juga seringkali dikaitkan dengan agama. Hal ini juga masih menimbulkan pro dan kontra. Dilakukan oleh penganut Islam, Kristen, Katolik, animisme, dinamisme, salah satu sekte Yahudi, dan juga atheis. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa latar belakang tradisi lebih dominant, bukan perintah agama. Praktik sunat perempuan ini diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan agama yang terorganisasi.
Definisi dan Klasifikasi
WHO mendefinisikan FGC sebagai semua tindakan/prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ geneti Italia perempuan dengan alasan budaya, atau alasan nonmedis lainnya. Tindakan bedah transeksual tidak termasuk dalam hal ini.
WHO mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe, yaitu :
Tipe I Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan istilah hoodectomy.
Tipe II Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora, tipe yang lebih ekstensif dari tipe I. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula.
Tipe III Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan Ala Firaun, yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar. Merupakan tipe terberat dari FGC.
Tipe IV Tidak terklasifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan atau labia; meregankan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis dan atau menyempit; serta berbagai macam tindakan yang sesuai dengan definisi FGC di atas.
Pelaksanaan Sunat Perempuan
Pelaksanaan sunat perempuan sangat bervariasi, mulai dari tenaga medis (baik perawat, bidan, maupun dokter), dukun bayi, maupun dukun/tukang sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional (pisau, sembilu, bamboo, jarum, kaca, kuku) hingga alat moderen (gunting, scapula). Pelaksanaan bisa dengan atau tanpa anestesi.
Usia pelaksanaan FGC bervariasi, dari mulai neonatus, anak usia 6-10 tahun, remaja, hingga dewasa. Di Amerika Serikat dan beberapa Negara barat lain, clitoridotomy lebih banyak dilakukan pada wanita dewasa dibandingkan pada anak-anak. Di sebagian Negara Afrika di mana FGC tipe infibulasi banyak dilakukan, tindakan ini dilakukan pada usia antara dua sampai enam tahun.
Infibulasi sebagai tipe terberat dari FGC digambarkan dilaksanakan dengan cara eksisi vulva dengan dinding musculus dari pubis ke anus. Setelah eksisi, kedua sisi labia mayora dijahit disatukan, dengan meninggalkan lubang kecil di vulva. Penyembuhan luka dan pembentukan scar akan menyatukan kedua permukaan labia. Kedua kaki wanita diikat selama sekitar dua minggu untuk mempercepat proses penyembuhan. Semua tindakan itu dilakukan tanpa anastesi.
Penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan di Indonesia sendiri dilakukan pada anak usia 0-18 tahun, tergantung dari budaya setempat. Umumnya sunat perempuan dilakukan pada bayi setelah dilahirkan. Di jawa dan Madura, sunat perempuan 70% dilaksanakan pada usia kurang dari satu tahun dan sebagian pada usia 7-9 tahun, menandai masa menjelang dewasa. Pelaksanaannya juga sangat bervariasi, mulai dari tenaga medis, dukun bayi, istri kyai (nyai), maupun tukang sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional ataupun alat modern.
Praktik sunat perempuan di Indonesia sering diminimalkan hanya pada tindakan simbolik, tanap pemotongan yang sesungguhnya pada alat kelamin. Walaupun ada juga dukun bayi di Madura yang berpendapat bahwa walaupun sedikit, tetap harus ada darah dari klitoris atau labia minora. Di Yogyakarta, sunat perempuan yang di kenal dengan istilah tetesan sebagian dilakukan oleh dukun bayi dengan cara menempelkan/menggosokkan kunyit klitoris, kemudian kunyit tersebut dipotong sedikit ujungnya, dan potongan tersebut dibuang ke laut atau dipendam di tanah. Kadang juga hanya dengan mengusap atau membersihkan bagian klitoris dan sekitarnya. Secara umum, di Jawa dan Madura memotong sedikit ujung klitoris adalah cara yang paling banyak dilakukan, selain cara simbolik.
Di Sulawesi Selatan, sunat perempuan pada etnis Bugis, di Soppeng (disebut katte), dilakukan dengan cara memotong sedikit klitoris. Sang Dukun (sanro) sebelumnya juga memotong jengger ayam. Kedua potongan tersebut kemudian dimasukkan ke suatu wadah yang berisi parutan kelapa, gula, kayu manis, biji pala, dan cengkih. Sedangkan etnis Makasar (disebut katang) melakukannya dengan cara memotong ujung kelentit menggunakan pisau. Rata-rata dilakukan pada usia 7-10 tahun, lebih identik dengan ritualisasi akil balik perempuan, dan diikuti dengan acara adat.
Hasil penelitian Population Council di Indonesia menyebutkan bahwa pelaksanaan FGC terbagi menjadi dua bentuk, yaitu simbolik (tanpa pemotongan/perlukaan sesungguhnya) yang meliputi 28% kasus dan sisanya 72% yang memang dilakukan insisi serta eksisi.
Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan
WHO membedakan alasan pelaksanaan FGC menjadi 5 kelompok, yaitu :
1. Psikoseksual
Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami.
2. Sosiologi
Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat sosial, lebih terhormat.
3. Hygiene dan estetik
Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya, jadi sunat dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan.
4. Mitos
Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak.
5. Agama
Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadah lebih diterima.
Di Eropa dan Amerika, sunat perempuan pernah dipraktikkan sebagai terapi pada penyakit jiwa. Sedangkan di Afrika dan Negara-negara Timur Tengah, FGC dilakukan dengan tujuan untuk menjamin kebersihan dan menambah kecantikan.
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar sunat perempuan di kaitkan dengan tradisi/adat dan perintah agama, terutama agama Islam. Dalam agama Islam sendiri, pendapat tentang pelaksanaan sunat perempuan terbagi menjadi 3, yaitu yang berpendapat sebagai sunah (dianjurkan), wajib (harus dilaksanakan), dan pendapat bahwa sunat perempuan adalah murni tradisi, yang tidak terkait dengan agama.
Yayasan Assalam di Bandung secara rutin menyelenggarakan acara sunatan massal untuk perempuan (juga laki-laki), dengan alasan perintah agama. Mereka menentang anggapan bahwa sunat perempuan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), karena justru sunat perempuan dilakukan dengan lebih ekstra hati-hati dan dengan luka minimal jika dibandingkan dengan sunat laki-laki.
Dampaknya Terhadap Kesehatan Fisik dan Psikis
Komplikasi yang bisa segera terjadi adalah nyeri berat, syok (kesakitan karena tanpa anestesi atau perdarahan), perdarahan, tetanus, sepsis, retensi urine, ulserasi pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya. Perdarahan massif dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian. Penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit, seperti HIV dan hepatitis.
Sedangkan komplikasi jangka panjang yang dilaporkan terjadi adalah kista dan abses, keloid, kerusakan uretra yang mengakibatkan inkontinentia urine, dispareni, disfungsi seksual, dan cronic morbidity (antara lain fistula vesico vaginal). Disfungsi seksual dapat diakibatkan oleh dipaureni serta penurunan sensitivitas permanent akibat klitoridektomi dan infibulasi. Kauterisasi elektrik klitoris bisa berpengaruh pada psikis yang menghilangkan keinginan untuk masturbasi.
Infibulasi bisa mengakibatkan bentuk scar yang berat, kesulitan dan gangguan miksi, menstruasi, recurrent bladder, infeksi saluran kemih, serta infertilitas. Infibulasi seringkali menimbulkan kesulitan dalam hubungan seksual sehingga dibutuhkan pembukaan jaitan untuk melebarkan introitus vagina. Episotomi yang luas dan dalam diperlukan pada waktu melahirkan pervaginam. Selama melahirkan, risiko infeksi dan perdarahan meningkat secara bermakna, dan sebagian besar wanita dengan infibulasi membutuhkan section Caesaria untuk melahirkan dengan aman.
WHO telah memperingatkan tentang timbulnya peningkatan risiko kematian ibu dan bayi pada wanita yang disunat. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan pada wanita yang pernah disunat di enam Negara Afrika, yaitu didapatkan hasil bahwa 30% lebih banyak yang harus section caesaria, 66% lebih banyak bayi lahir yang harus diresusitasi, dan 50% lebih banyak anak meninggal dalam kandungan maupun lahir mati dibandingkan pada wanita yang tidak sunat.
Nahid Tobia mengemukakan bahwa jika dibandingkan antara sunat pada laki-laki dan perempuan, maka clitoridectomy dianggap ekuivalen dengan amputasi dari sebagian penis, dan tindakan infibulasi dianggap ekuivalen dengan pemotongan seluruh bagian penis, diikuti dengan jaringan lunak di sekitarnya dan sebagian dari kulit skrotum.
Sunat perempuan mungkin menimbulkan suatu trauma yang akan selalu ada dalam kehidupan dan pikiran seorang wanita yang mengalaminya, serta muncul sebagai kilas balik yang sangat mengganggu. Komplikasi psikologis dapat terpendam pada alam bawah sadar anak yang bisa menimbulkan gangguan perilaku. Hilangnya kepercayaan dan rasa percaya diri dilaporkan sebagai efek serius yang bisa terjadi. Dalam jangka panjang, dapat timbul perasaan tidak sempurna, ansietas, depresi, iritabilitas kronik, dan frigiditas. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan konflik dalam pernikahannya. Banyak perempuan yang mengalami trauma dengan pengalaman FGM tersebut, tetapi tidak bisa mengungkapkan ketakutan dan penderitaannya secara terbuka.
Profesor Doktor Munir Falsi dari Mesir (90% wanita Mesir mengalami sunat) menolak jika tipe 1 dan 2 sirkumsisi wanita juga dianggap kejam, berbahaya, dan menimnulkan problem dalam kehamilan dan melahirkan, serta berpendapat bahwa hal itu hanya terjadi pada tipe 3 FGM (infibulasi).
Pendapat senada diutarakan oleh Profesor Friday Okonufa, peneliti dari Pusat Riset Aksi dan Kesehatan Perempuan di Benin City, Nigeria, dalam studinya yang diterbitkan di Journal of Obstetric and Gynaecology Inggris, bahwa pemotongan klitoris pada FGM tidak mengurangi sensitivitas seksual perempuan. Studi dilakukan terhadap 1.836 perempuan (45% di antaranya telah disunat) dan menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan dalam hal hasrat dan kenikmatan seksual antara perempuan yang disunatdan tidak disunat. Namun, pemotongan klitoris cenderung mendorong seorang wanita untuk merasa mendapatkan hasil seksualitas yang buruk, juga infeksi sistem reproduksi.
Bagi masyarakat Madura, sunat perempuan sudah dianggap tradisi turun temurun, sehingga efek samping yang terjadi tidak pernah dianggap sebagai hal yang serius, dianggap tidak perlu dirisaukan dan dibicarakan, sehingga tidak terungkap dampak negative sunat perempuan. Tidak didapatkan keluhan psikologis maupun fisik perempuan yang mengalaminya ataupun anak perempuannya. Yang berkembang justru sugesti tentang adanya peningkatan gairah seksual perempuan. Di Sulawesi Selatan juga tidak dijumpai laporan komplikasi akibat sunat perempuan.
Penelitian Population Council di Indonesia juga tidak menjumpai dampak negative sunat perempuan yang dialami oleh perempuan yang disunat, baik dalam masalah penurunan libido, masalah reproduksi, serta komplikasi kesehatan pendek maupun panjang. Hanya dapatkan keluhan nyeri saat pelaksanaan sunat.
Medikalisasi Sunat Perempuan
Medikalisasi artinya keterlibatan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan sunat perempuan. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk risiko kesehatan dibandingkan jika dikerjakan oleh dukun bayi atau tukang suant tanpa pengetahuan kesehatan yang adekuat. Tetapi, hal ini pun ternyata dianggap menjadi berbahaya dan bertentangan dengan etika dasar kesehatan.
WHO secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa FGM dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan di manapun, termasuk rumah sakit dan sarana kesehatana lainnya. WHO berdasar pada etika dasar kesehatan bahwa mutilasi tubuh yang tidak perlu tidak boleh di lakukan oleh tenaga kesehatan. FGM membahayakan dan tidak berguna bagi wanita. Medikasi tidak menghilangkan bahaya yang ditimbulkan. Medikalisasi sunat perempuan juga cenderung akan mempertahankan tradisi ini. Masyarakat akan lebih yakin dengan anggapan adanya dukungan dan legalitas oleh provider kesehatan.
Menurut WHO, sunat perempuan termasuk bentuk penyiksaan (torture) sehingga dimasukkan dalam salah satu bentuk kekerasan pada wanita, walaupun dilakukan oleh tenaga medis. Berbagai pihak juga menganggap sunat perempuan bertentangan dengan hak asasi manusia terkait dengna tidak adanya inform consent, tekanan patriakal, dan kekerasan pada wanita berkaitan dengan penderitaan serta dampak yang timbul.
Berbeda dengan sunat laki-laki, teknik pelaksanaan sunat perempuan tidak pernah diajarkan dalam pendidikan kesehatan. Tidak ada standard dan prosedur tetap sunat perempuan secara medis. Jadi, tenaga kesehatan biasanya berdasar pada? warisan? seniornya, atau bertanya dan mengamati sunat yang dilakukan oleh dukun bayi/sunat di daerah setempat, baik simbolik maupun dengan insisi serta eksisi klitoris. Terdapat juga bidan yang melakukan sunat perempuan sesuai kemauan orang tau si anak (misalnya harus ditusuk/dipotong sampai keluar darah).
Hasil penelitian di enam provinsi, yaitu Sumatera Barat, Banten, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo selam 18 bulan (Oktober 2001 sampai Maret 2003) yang dilakukan oleh Population Council bekerja sama dengan kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, di dapatkan temuan bahwa dalam praktik FGM, tenaga kesehatan ternyata menggunakan peralatan seperti jarum, pisau, dan gunting untuk melakukan irisan (22%) dan eksisi/pengupasan (72%). Temuan Program Kajian Perempuan dari Universitas Indonesia dan Yayasan Kesehatan Perempuan Atmajaya yang melakukan penelitian serupa juga tak jauh beda. Diungkapkan juga bahwa medikalisasi (terutama oleh bidan) cenderung melakukan sunat dengan cara yang lebih invasive (68-88% kasus), dengan insisi atau eksisi yang lebih luas dibandingkan dengan yang dilakukan oleh tenaga tradisional 43-67% kasus.
Seringkali sunat perempuan sudah termasuk satu paket persalinan bersama dengan tindik telinga di beberapa klinik bersalin milik bidan. Hal ini juga didapatkan di beberapa rumah sakit dan klinik di Jakarta, Surabaya, serta Makasar. Tetapi, sebenarnya lunturnya makna cultural dan tidak adanya relevansi secara medis telah berakibat pada menurunnya praktik pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia.
Tindakan Nasional dan Komunitas
Di Indonesia sendiri pada 31 Mei sampai 1 Juni 2005 telah diselenggarakan Lokakarya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan berkaitan dengan sunat. Peserta lokakarya terdiri dari unsur-unsur Menteri Pemberdayaan Perempuan, Depkes, Depag, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Kesehatan Rakyat, Institusi Pendidikan (Fakultas Kedokteran, Sekolah Kebidanan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Islam Negeri), organisasi profesi (IBI, IDAI, POGI), ormas perempuan termasuk agama, media massa, yayasan yang berkaitan dengan pelayanan medis, dan institusi penelitian. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu bahwa sunat perempuan tidak memiliki landasan ilmiah dan lebih didasari pada tradisi dan budaya, tidak ada landasan agama. Penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan lebih banyak membawa dampak buruk daripada manfaatnya dan ternyata mendikalisiasi FGM yang cenderung ke araha mutilasi bertentangan dengan hokum yang berlaku. Selain itu, ternyata telah terjadi komersialisasi pelayanan sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Atas dasar tersebut, di sampaikan rekomendasi yang berisi :
1. Mendukung kebijakan Depkes untuk melarang tenaga kesehatan dan sarana kesehatan melakukan sunat perempuan.
2. Mendesak semua pihak terkait untuk melakukan pendidikan publik tentang resiko sunat perempuan merupakan pelanggaran hak asasi.
3. Meningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh agama, adat, dan penegak hokum terhadap masalah sunat perempuan
4. Memasukkan larangan melakukan sunat perempuan dalam kurikulum pendidikan serta menjelaskan dampak negatifnya.
5. Mendesak Menkes, Menteri PP, dan Menag untuk minta fatwa MUI yang melarang dilakukannya sunat perempuan.
Rekomendasi tersebut telah diikuti dengan dikeluarkannya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan oleh Depkes RI, yang mengharapkan agar semua tenaga kesehatan secara tegas menolak permintaan sunat perempuan.
Kesimpulan dan Saran
Berbeda dengan suat laki-laki, dimana latar belakang pelaksanaan awalnya adalah agama, ternyata secara medis terbukti memang memiliki nilai manfaat, dan terdapat teknik pelaksanaannya dalam pendidikan tenaga kesehatan, sunat perempuan dengan latar belakang budaya dan agama justru dianggap bertentangan dengan kaidah atau etika medis dan tidak terdapat prosedur tetap teknik pelaksanaanya.
Pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia tidak sama dengan gambaran pelaksanaan di Negara lain, terutama Afrika, Sudan, Mesir, dan sebagainya, yang banyak didapatkan bentuk berat, yaitu tipe 2 dan 3 FGM yang meliputi sebagian besar dari organ genitalia eksternal wanita. Di Indonesia, banyak dijumpai bentuk simbolik sunat perempuan (tanpa pemotongan sesungguhnya) atau dengan pemotongan tipe 1 atau 4 FGM. Kedua bentuk tersebut dilakukan baik oleh tenaga tradisional maupun tenaga kesehatan.
Fakta bahwa hampir tidak pernah dijumpai laporan komplikasi akibat sunat perempuan di Indonesia, mempersulit usaha meyakinkan masyarakat untuk meniadakan sunat perempuan di Indonesia. Walaupun demikian, sebenarnya ketiadaan laporan bisa disebabkan minimnya pengetahuan reproduksi wanita, atau budaya malu dan takut untuk mengungkapkan.
Yang perlu menjadi pertimbangan adalah bagaimana jika sunat perempuan di Indonesia diyakini sebagai salah satu bentuk ibadah atau perintah agama, tentu tidak mudah untuk dihapuskan dan bisa menimbulkan polemik yang kuat. Perintah agama sering merupakan suatu dogma, terlepas dari pertimbangan manfaat ataupun kerugiannya berdasarkan akal manusia. Mengingat di Indonesia terdapat begitu banyak organisasi keagamaan, apakah ormas yang dilibatkan dalam pembahasan masalah ini sudah bisa dianggap mewakili pendapat sebagian besar umat? Hal yang sama juga terhadap masyarakat yang masih memegang kuat tradisi sunat perempuan sebagai budaya atau bahkan kombinasi antara agama dan budaya.
Jika faktanya tetap ada masyarakat yang tetapmempunyai keyakinan untuk harus melaksanakan sunat perempuan dan mereka pergi ke tenaga kesehatan dengan harapan bisa dilaksanakan dengan lebih higienis dan aman dibandingkan oleh tenaga tradisional, hal ini akan menjadi dilema bagi tenaga kesehatan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Bagaimana jika tenaga kesehatan tersebut juga meyakini sunat perempuan sebagai perintah agama?
Kebijakan tentang sunat perempuan semestinya dilakukan dengan pendekatan dua arah, baik ke tenaga kesehatan maupun masyarakat secara luas, sehingga bisa membatasi perbedaan yang ada secara lebih bijak.
Dikutip dari Berbagai Sumber